Pemerintah berencana mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). PP ini merupakan aturan pelaksana dari revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang tahun lalu sudah disahkan. Beleid ini membahas jabatan ASN yang bisa diisi prajurit TNI dan personel Polri, atau sebaliknya.
Menurut Koordinator Program Reformasi Sektor Keamanan Imparsial Hussein Ahmad, wacana pemerintah tersebut merupakan indikasi ingin mengaktifkan kembali dwifungsi ABRI era Orde Baru dengan aturan hukum.
“PP ini adalah legitimasi setelah adanya revisi Undang-Undang (tentang) ASN yang kami kritik habis-habisan karena bertentangan dengan semangat reformasi,” ucap Hussein kepada Alinea.id, Kamis (14/3).
Dwifungsi merupakan gagasan yang diterapkan Orde Baru, yang menyebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—terutama Angkatan Darat—punya dua tugas, yakni menjaga keamanan dan ketertiban, serta memegang kekuasaan dan mengatur negara.
Padahal, kata Hussein, semestinya pemerintah membenahi sengkarut masalah perwira non-job yang banyak di tubuh TNI dan Polri secara bertahan, bukan malah memberikan peluang mereka merambah jabatan sipil.
Hussein mengatakan, perwira TNI dan Polri cukup diberi kesempatan menduduki jabatan sipil di kementerian atau lembaga yang memang memerlukan kualifikasi keahlian pada bidang pertahanan dan keamanan. Semisal Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) atau Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Namun tetap berdasarkan pada kebutuhan, bukan mendominasi semua lembaga.
“Di luar lembaga yang tidak dimungkinkan itu, enggak boleh memberikan tempat. Misalnya di Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi,” tutur Hussein.
“Kembali saja ke Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri. Khusus untuk Undang-Undang Polri, memang ada beberapa konstitusi yang dimungkinkan ditempati perwira aktif di jabatan tersebut (tertentu). Itu pun harus sesuai kompetensi dan permintaan dari lembaga tersebut.”
Hussein khawatir perwira aktif TNI dan Polri yang dibiarkan mendominasi jabatan sipil bisa berdampak buruk pada profesionalisme. Bahkan dapat memicu disorientasi karier karena perwira aktif yang seharusnya memegang peran utama menjaga pertahanan dan memelihara keamanan, tetapi malah lebih tergiur pada jabatan sipil.
“Kita bisa berkaca pada masa Orde Baru, senjata kita itu hampir tidak berkembang dan tidak maju secara pertahanan. Kalau mau dikatakan lumpuh. Bisa dilihat dari senjatanya yang sangat ketinggalan zaman, taktik dan strateginya,” ujar Hussein.
“Bayangkan sudah negara modern seperti ini kita masih bicara taktik gerilya. Kenapa? Karena ABRI pada saat itu tidak fokus pada pertahanan-keamanan. Tapi fokus pada sosial-politik.”
Hussein memandang, indikasi mengembalikan dwifungsi ABRI sudah terlihat sejak Presiden Joko Widodo atau Jokowi gencar menempatkan perwira aktif ke sejumlah kementerian dan lembaga pada periode kedua pemerintahannya. Bahkan, menjadikan perwira aktif sebagai penjabat sementara kepala daerah.
Menurutnya, masifnya keberadaan perwira TNI dan Polri yang menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga bisa sangat merugikan perjalanan karier pegawai ASN yang ditempa dengan sistem merit—kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang diberlakukan secara adil dan wajar tanpa diskriminasi—untuk bisa duduk di jabatan strategis. Akan tetapi, walau layak secara kompetensi dan kualifikasi, mereka bisa kalah saing dengan perwira TNI dan Polri yang didukung kekuasaan untuk menduduki jabatan sipil.
“Ini bisa merusak tata kelola jenjang karier ASN,” kata Hussein.
Lebih jauh, ia menduga, PP Manajemen ASN sengaja dipersiapkan untuk pemerintahan baru, yang hampir pasti dipimpin Prabowo Subianto. Kemungkinan besar, kata dia, aturan ini menjadi legitimasi Prabowo untuk menarik perwira aktif TNI atau Polri yang memiliki kedekatan dengan dirinya untuk mengisi jabatan sipil, dengan tujuan memperkuat pemerintahannya.
“Memang Prabowo itu punya kecenderungan untuk menarik orang-orang militer atau Polri ke dalam jabatan-jabatan sipil. Polanya sudah jelas,” tutur Hussein.
“Jadi memang supremasi sipil akan melemah dan terus melemah.”
Sementara itu, dihubungi pada Kamis (14/3) Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, rencana pemerintah yang ingin melegitimasi perwira TNI dan Polri merambah jabatan sipil sudah merupakan dugaan kuat ingin mengembalikan dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.
Isnur berpendapat, Jokowi sengaja ingin meningkatkan peran militer untuk melemahkan supremasi sipil pada periode pemerintahan selanjutnya, yang kemungkinan kuat bakal dipimpin Prabowo Subanto-Gibran Rakabuming Raka.
“Sebenarnya (ini merupakan) titik nadir kemunduran semangat yang dibangun pada saat masa reformasi,” kata Isnur.
“Ini titik di mana Jokowi memang ingin membawa semangat militerisme itu kembali muncul, dan mengembalikan fungsi-fungsi TNI yang tidak sesuai dengan tempatnya.”